hargasemen.id – Mantan Ketua KPK, Abraham Samad, kembali menyuarakan keresahannya terkait kasus tuduhan ijazah palsu Presiden Jokowi. Ia merasa aparat hukum memperlakukannya secara tidak adil. Menurut Samad, panggilan penyidik yang berulang tanpa arah yang jelas menunjukkan adanya tekanan hukum. Karena itu, ia menilai proses tersebut sengaja diarahkan untuk menjadikannya kambing hitam dalam isu fitnah terhadap Presiden.
Selain itu, Abraham Samad menegaskan bahwa aktivitasnya di ruang publik hanya sebatas edukasi melalui podcast. Ia menyatakan tidak pernah berniat menyebarkan fitnah ataupun merusak nama baik Presiden. Oleh sebab itu, ia menilai langkah hukum yang menjeratnya terasa janggal dan berlebihan.
Bantahan Kuasa Hukum Jokowi
Di sisi lain, kuasa hukum Presiden Jokowi, Rivai Kusumanegara, menolak klaim kriminalisasi yang dilontarkan Abraham Samad. Ia menegaskan bahwa Presiden tidak pernah menyebut nama Samad dalam laporan hukum. Menurut Rivai, laporan yang disampaikan ke pihak berwenang berfokus pada peristiwa fitnah secara umum, bukan menyerang individu tertentu.
Lebih lanjut, Rivai mengungkapkan bahwa status Samad sebagai terlapor muncul karena ia beberapa kali tidak memenuhi panggilan penyidik. Akibat ketidakhadirannya, namanya otomatis masuk ke daftar terlapor melalui mekanisme administrasi. Dengan demikian, Rivai menilai anggapan bahwa Presiden secara pribadi melaporkan Samad perlu dilihat secara lebih proporsional.
Perdebatan Antara Fitnah dan Kebebasan Berpendapat
Kasus ini memperlihatkan betapa tipisnya batas antara kebebasan berpendapat dan perlindungan hukum terhadap fitnah. Rivai kembali menegaskan bahwa inti laporan Presiden bukan menyerang personal, melainkan melawan isu fitnah yang menyebar di ruang publik.
Namun, Abraham Samad memandang situasi tersebut berbeda. Ia menilai aparat hukum terlalu mudah mengkategorikan kritik atau opini sebagai fitnah. Menurutnya, hal ini justru mempersempit ruang diskusi dan menimbulkan kesan kriminalisasi terhadap pihak yang vokal menyampaikan pandangan.
Implikasi Sosial dan Politik
Lebih jauh, kasus ini menimbulkan perhatian publik karena melibatkan mantan pimpinan lembaga antikorupsi dan Presiden yang masih menjabat. Di satu sisi, masyarakat melihat bahwa langkah hukum terhadap Samad bisa melahirkan stigma terhadap tokoh yang kritis. Di sisi lain, pihak Presiden menekankan perlunya menjaga wibawa kepala negara dari tuduhan yang tidak berdasar.
Dengan demikian, polemik ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga menyentuh ranah politik dan demokrasi. Kritik yang muncul di era digital sering kali berpotensi menimbulkan konflik hukum apabila tidak disertai data yang kuat. Karena itu, publik menuntut agar proses hukum dijalankan secara adil tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.
Menuju Penegakan Hukum yang Lebih Seimbang
Untuk mencegah kasus serupa berulang, penyidik perlu memperjelas dasar pemanggilan setiap terlapor. Langkah ini penting agar tidak menimbulkan kesan adanya kriminalisasi. Selain itu, komunikasi yang lebih terbuka antara pelapor, penyidik, dan pihak terlapor dapat mengurangi potensi kesalahpahaman.
Tidak hanya itu, mediasi atau klarifikasi publik juga perlu diperkuat. Dengan adanya mekanisme tersebut, masyarakat bisa tetap menyampaikan kritik tanpa rasa takut, sementara reputasi pejabat negara tetap terlindungi. Pada akhirnya, keseimbangan antara perlindungan hukum dan kebebasan berpendapat menjadi kunci agar demokrasi Indonesia berjalan sehat.